Ketika Cinta Bukan Lagi Tentang Siapa yang Memimpin
Di dunia yang serba cepat ini, banyak yang lupa bahwa cinta sejati bukanlah soal siapa yang lebih kuat, tapi siapa yang mau bertumbuh bersama. Kita hidup di zaman di mana perempuan bukan lagi ingin hanya dilindungi, melainkan ingin diajak berjalan sejajar. Mereka tidak mencari tempat untuk bersembunyi, tapi ruang untuk berkembang. Dan di sisi lain, lelaki sejati bukan yang ingin menguasai, tapi yang mampu memeluk keberagaman peran dengan kedewasaan.
Cinta yang matang bukan medan kompetisi, tapi ladang kolaborasi. Ia bukan tentang siapa yang lebih berkuasa, tapi siapa yang lebih sadar bahwa hubungan yang sehat adalah yang saling menopang. Ketika dua hati sama-sama berjuang, bukan saling menuntut, maka hubungan itu tak hanya kuat secara emosi, tapi juga diberkahi secara spiritual. Inilah rahasia hubungan yang tahan lama: dua jiwa yang saling menguatkan, bukan saling menundukkan.
Ada banyak hubungan yang hancur bukan karena kurang cinta, tapi karena kehilangan arah. Karena salah satu ingin mendominasi, bukan membimbing. Karena terlalu banyak ego, tapi terlalu sedikit empati. Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan dalam hubungan bukan berarti kekuasaan, tapi amanah untuk menjaga, menuntun, dan membersamai dalam cinta yang bertanggung jawab.
Allah berfirman:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
(QS. Ar-Rum [30]: 21)
Ayat ini tidak menyebut dominasi, tapi keseimbangan. Tidak menonjolkan kekuasaan, tapi ketenangan. Karena hakikat hubungan adalah sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sakinah adalah ketenangan yang lahir dari penerimaan. Mawaddah adalah cinta yang tumbuh dari kebaikan. Rahmah adalah kasih yang melembutkan hati di tengah ujian. Dan ketiganya hanya akan hadir ketika dua insan rela berkolaborasi, bukan mendominasi.
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini bukan hanya nasihat moral, tapi fondasi spiritual bagi relasi yang adil. Rasulullah tidak memimpin dengan kekuasaan, tetapi dengan kelembutan. Beliau tidak menuntut ditaati tanpa kasih, tapi menuntun dengan keteladanan yang lahir dari cinta. Inilah cinta yang tumbuh dari rahmat, bukan ego. Cinta yang mengajak, bukan memaksa. Cinta yang menguatkan, bukan merendahkan.
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan indah: “Allah menciptakan pasangan agar manusia dapat menemukan ketenangan melalui kerja sama, bukan pertentangan. Karena dari keserasian itulah tumbuh kasih dan rahmat.” Maka kolaborasi bukan hanya strategi sosial, tetapi sunnah kehidupan yang diatur oleh hikmah Ilahi.
Mungkin engkau pernah merasa lelah mencintai seseorang yang keras kepala. Atau engkau merasa tak dipahami meski sudah berusaha keras. Tapi ketahuilah, cinta sejati tidak menuntut kesempurnaan, ia mengundang pengertian. Kolaborasi dalam hubungan berarti engkau mau saling belajar: bukan untuk mengubah pasanganmu, tapi untuk tumbuh bersama menuju versi terbaik kalian.
Jangan berhenti di sini. Halaman berikutnya akan membawamu memahami bagaimana kolaborasi dalam cinta bisa menjadi ibadah yang menyucikan hati, bukan sekadar hubungan duniawi. Lanjutkan ke halaman 2, dan temukan rahasia spiritual di balik keseimbangan cinta dan tanggung jawab yang membuat hubungan bertahan lama dalam berkah.
Share Artikel di → beritalangit.com dapat meningkatkan Pendapatan Tambahan dan Finansial. 👉 Mari sebarkan kebaikan, dan biarkan keberkahan kembali padamu.