Hari 2 – Satu Tapi Tak Terbagi: Makna Qul Huwallāhu Aḥad

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Allāhumma ṣalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī ajma‘īn.


Halaman 1 – Pendahuluan: Menyelami Keesaan yang Tak Terbagi

Surah Al-Ikhlāṣ membuka pintu pemahaman tauḥīd dengan kalimat yang singkat namun penuh kekuatan: “Qul huwa Allāhu aḥad.” Kalimat ini bukan hanya deklarasi teologis, melainkan juga pernyataan eksistensial tentang hakikat Tuhan dan keberadaan alam. Perintah “Qul” — “katakanlah” — adalah seruan langsung dari Allah kepada Nabi Muḥammad , dan melalui beliau, kepada seluruh umat manusia. Seruan ini mengandung makna bahwa kebenaran tentang keesaan Allah tidak hanya untuk diketahui, tetapi juga untuk disampaikan dan dihidupkan dalam kesadaran.

Menurut Imām Aṭ-Ṭabarī dalam Jāmi‘ al-Bayān, ayat ini turun sebagai jawaban atas permintaan kaum Quraisy yang bertanya kepada Nabi : “Sifatilah Tuhanmu kepada kami.” Pertanyaan ini tidak sekadar bersifat retoris, melainkan menggambarkan pencarian eksistensial manusia terhadap sumber segala sesuatu. Maka Allah menjawab dengan kalimat paling ringkas sekaligus paling mendalam: “Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa.” Di sinilah konsep tauḥīd menemukan bentuknya — bukan sekadar satu dalam hitungan, tetapi satu dalam keberadaan, satu dalam kekuasaan, dan satu dalam makna.

Kata “aḥad” berbeda dari “wāḥid.” Dalam bahasa Arab, “wāḥid” menunjuk pada angka, satu dalam bilangan; sedangkan “aḥad” menunjuk pada keesaan yang tak terbagi, tidak tersusun, dan tidak bergantung pada apa pun. Fakhruddīn Ar-Rāzī menjelaskan bahwa “aḥad” adalah keesaan mutlak yang meniadakan kemungkinan adanya yang kedua. Dengan demikian, kalimat “Allāhu aḥad” bukan hanya menegaskan keesaan Allah, tetapi juga menolak semua bentuk pluralitas dalam konsep ketuhanan. Inilah inti dari ajaran Islam: kesatuan yang absolut.

Imām Al-Qurṭubī menambahkan bahwa lafaz “aḥad” tidak dapat disandarkan kepada selain Allah kecuali dalam bentuk metafora. Manusia boleh dikatakan “satu” dalam kelompok, tetapi keesaannya bersifat nisbi dan terbatas. Sedangkan Allah adalah “Aḥad” secara hakiki — tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya dalam wujud, sifat, atau kehendak. Di sinilah tampak perbedaan antara tauḥīd akidah dan tauḥīd hakikat: yang pertama mengakui bahwa Allah Esa, sementara yang kedua menghayati bahwa tiada yang benar-benar ada kecuali Dia.

Dalam pandangan Muḥyiddīn Ibnu ‘Arabī, ayat ini merupakan inti dari seluruh makna wahyu. Ia menulis dalam Fuṣūṣ al-Ḥikam bahwa “aḥadiyyah” adalah rahasia terdalam dari ciptaan — keesaan yang tak terpecah, namun tercermin dalam banyak wujud. Alam semesta, kata beliau, hanyalah bayangan dari “Yang Satu.” Segala yang ada berasal dari-Nya dan kembali kepada-Nya. Ketika manusia merenungi hal ini, ia akan memahami bahwa perbedaan bukanlah lawan dari kesatuan, tetapi cara Allah menampakkan kebesaran-Nya.

Dengan demikian, ayat “Qul huwa Allāhu aḥad” menjadi kunci bagi segala bentuk pengetahuan tauḥīd. Ia mengajarkan bahwa mengenal Allah berarti menghapus dualitas dalam kesadaran — tidak lagi melihat dunia sebagai “Aku dan Dia,” melainkan hanya “Dia.” Inilah bentuk keikhlasan tertinggi: ketika seluruh pandangan, niat, dan tujuan hidup hanya tertuju kepada satu Dzat, Allāh Yang Maha Esa.


💎 “Qul huwa Allāhu aḥad” bukan sekadar kalimat tauḥīd, tetapi cermin dari kesadaran ilahi — meniadakan dua, menyisakan Satu, dan mengajarkan bahwa seluruh keberadaan hanyalah pantulan dari Yang Esa.

➡️ Lanjut ke Halaman 2: “Perintah ‘Qul’: Dimensi Dakwah dan Kesadaran Tauḥīd dalam Kehidupan.”