Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Allāhumma ṣalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī ajma‘īn.
Halaman 1 – Kedudukan Anak dan Hak Waris dalam Dua Sistem Hukum
Hukum tentang anak dan kewarisan merupakan dua pilar penting dalam menjaga keadilan keluarga. Dalam konteks hukum Indonesia, keduanya diatur untuk melindungi hak-hak anak sebagai penerus garis keturunan dan menjamin pembagian harta peninggalan yang sah. Sedangkan dalam hukum Islam, keduanya memiliki makna yang lebih luas — bukan hanya tentang hak materi, tapi juga tanggung jawab moral, kasih sayang, dan keadilan ilahi.
Dalam hukum Indonesia, status anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setiap anak, baik sah maupun di luar perkawinan, memiliki hak untuk hidup, tumbuh, dan mendapatkan perlindungan dari diskriminasi. Bahkan, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 menegaskan bahwa anak di luar nikah juga memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya, sepanjang dapat dibuktikan dengan teknologi atau alat bukti yang sah.
Sementara itu, hukum Islam menempatkan anak sebagai amanah Allah . Kedudukannya mulia, karena dari merekalah keberlanjutan generasi beriman diteruskan. Al-Qur’an menegaskan pentingnya keadilan dalam memperlakukan anak-anak, termasuk dalam hal warisan. Firman Allah :
Yūṣīkumullāhu fī awlādikum, lil-dzakari miṯlu ḥaẓẓil-unṯayayn.
Artinya: “Allah mewasiatkan kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan.” (QS. An-Nisā’ [4]: 11)
Ayat ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan keseimbangan tanggung jawab: laki-laki memikul beban nafkah, sementara perempuan dijamin hak ekonominya tanpa kewajiban memberi nafkah balik. Islam menata warisan bukan sekadar membagi harta, tapi menjaga keadilan sesuai fungsi sosial dan tanggung jawab moral setiap pihak.
Baik hukum positif maupun hukum Islam sama-sama menegakkan asas keadilan, meski dengan pendekatan berbeda. Negara menggunakan prinsip kesetaraan hukum, sementara syariat menegakkan keseimbangan tanggung jawab. Dua-duanya menuju satu tujuan: menjaga kehormatan keluarga dan memastikan hak anak tidak terabaikan.
➡️ Lanjut ke Halaman 2: “Asal Usul Hukum Kewarisan: Dari KUH Perdata hingga Faraidh Syariah.”