Hukum Hutang Piutang: Aturan Indonesia dan Bimbingan Islam

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Allāhumma ṣalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī ajma‘īn.


Halaman 1 – Hakikat Hutang Piutang dalam Pandangan Hukum dan Iman

Hutang piutang adalah bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi manusia. Dalam situasi tertentu, hutang bisa menjadi solusi — membantu yang kekurangan, menyelamatkan usaha kecil, bahkan menumbuhkan solidaritas sosial. Tapi di sisi lain, hutang juga bisa jadi beban moral yang berat kalau disalahgunakan atau tidak dilunasi dengan amanah. Karena itu, baik hukum positif Indonesia maupun hukum Islam sama-sama mengatur dengan serius soal ini.

Dalam hukum Indonesia, hubungan hutang piutang masuk dalam ranah perdata, diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Buku III tentang Perikatan. Pasal 1233 menyebutkan bahwa setiap perikatan lahir karena perjanjian atau karena undang-undang. Artinya, begitu seseorang berhutang, otomatis timbul kewajiban hukum untuk membayar sesuai kesepakatan yang sah. Bila tidak dilunasi, pihak pemberi hutang dapat menempuh jalur hukum untuk menuntut pelunasan.

Sementara dalam ajaran Islam, hutang bukan hanya urusan dunia, tapi juga urusan akhirat. Rasulullah mengingatkan betapa seriusnya tanggungan hutang, bahkan bagi orang yang wafat dalam keadaan syahid. Dalam hadits sahih disebutkan:

Yughfaru lish-shahīdi kullu dzanbin illad-dain.

Artinya: “Dosa orang yang mati syahid akan diampuni semuanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa hutang adalah janji serius antara dua pihak, dan siapa pun yang berhutang wajib berniat untuk melunasinya. Islam memandang hutang sebagai bentuk kepercayaan — amanah yang harus dijaga. Karena itu, Islam mendorong agar setiap transaksi hutang dicatat dan disaksikan, seperti yang ditegaskan dalam Al-Qur’an:

Yā ayyuhallażīna āmanū iżā tadāyantum bidaynin ilā ajalin musamman faktubūh.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah (hutang itu).” (QS. Al-Baqarah [2]: 282)

Ayat ini bukan sekadar nasihat, tapi panduan hukum yang sangat relevan bahkan di era modern. Pencatatan hutang melindungi kedua belah pihak dari perselisihan dan melatih tanggung jawab sosial. Baik hukum positif maupun hukum syariah sama-sama ingin menjaga keadilan dan kepercayaan agar tidak ada pihak yang dirugikan.


🌿 Hutang bukan sekadar angka — ia adalah amanah yang akan diminta pertanggungjawaban di dunia dan di akhirat.

➡️ Lanjut ke Halaman 2: “Dasar Hukum Hutang Piutang Menurut KUH Perdata dan Fiqih Muamalah.”