Hukum Kontrak dan Perjanjian: Perspektif Indonesia dan Syariah

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Allāhumma ṣalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī ajma‘īn.


Halaman 1 – Makna Hukum Kontrak dan Perjanjian dalam Dua Dunia

Setiap hubungan manusia yang melibatkan janji, kepercayaan, dan tanggung jawab pada dasarnya adalah bentuk kontrak. Dalam konteks modern, “hukum kontrak dan perjanjian” menjadi tulang punggung kehidupan sosial dan ekonomi — dari transaksi sederhana hingga proyek multinasional. Namun di balik kompleksitas dunia hukum, ada dua sistem besar yang memandang kontrak dengan cara berbeda: Hukum Perdata Indonesia dan Hukum Syariah Islam.

Dalam Hukum Perdata Indonesia, perjanjian dianggap sebagai hasil dari kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap hukum. Ia bersifat rasional, berbasis dokumen, dan berorientasi pada kepastian. Selama syarat formil dan materil terpenuhi — seperti kesepakatan, kecakapan, objek yang jelas, dan causa yang halal — maka kontrak dianggap sah dan mengikat seperti undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sementara itu, Hukum Syariah memandang kontrak bukan sekadar kesepakatan duniawi, melainkan akad yang bernilai ibadah. Di dalamnya terkandung niat, kejujuran, dan tanggung jawab di hadapan Allah . Sebuah akad tidak hanya sah karena tanda tangan, tapi juga karena hati yang bersih dari tipu daya dan riba. Islam menekankan prinsip ridha, keadilan, dan transparansi agar setiap perjanjian membawa keberkahan, bukan sekadar keuntungan.

Dua sistem ini seolah berbeda arah — satu berbicara kepastian hukum, satu berbicara nilai spiritual — namun sejatinya saling melengkapi. Ketika kontrak dijalankan dengan niat jujur dan dilandasi aturan yang adil, maka hukum positif dan syariat akan bertemu dalam satu titik: kemaslahatan manusia.


🌿 Refleksi: Hukum menjaga perjanjian di dunia, tapi kejujuran menjaga perjanjian di akhirat.

➡️ Lanjut ke Halaman 2: “Konsep Dasar Perjanjian dalam Hukum Perdata Indonesia.”