Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Allāhumma ṣalli wa sallim wa bārik ‘alā Sayyidinā Muḥammad, wa ‘alā ālihī wa ṣaḥbihī ajma‘īn.
Halaman 1 – Makna Perlindungan Konsumen dalam Dua Sistem Nilai
Perlindungan konsumen bukan sekadar soal komplain dan garansi. Ia adalah hak asasi ekonomi yang memastikan setiap orang memperoleh barang dan jasa yang aman, layak, jujur, serta sesuai klaim. Dalam hukum Indonesia, perlindungan konsumen menata hubungan pelaku usaha dan pembeli agar transaksi berlangsung adil. Dalam Islam, perlindungan konsumen adalah bagian dari akhlak muamalah—menjaga amanah, menolak kecurangan, dan menegakkan kejujuran sebagai ibadah.
Di tingkat negara, prinsip ini diwujudkan melalui aturan yang melarang praktik menipu, menyembunyikan cacat, iklan menyesatkan, maupun layanan purna jual yang abai. Tujuannya jelas: mencegah kerugian konsumen, menciptakan persaingan sehat, dan menghadirkan kepastian hukum. Tanpa perlindungan konsumen, pasar berubah menjadi ruang yang mengutamakan yang kuat dan merugikan yang kecil—padahal kesejahteraan bersama hanya lahir dari transaksi yang seimbang.
Syariat Islam lebih dahulu menegakkan nilai ini. Al-Qur’an menegur tegas pelaku kecurangan takaran dan timbangan, serta mengharamkan perolehan harta secara batil. Allah berfirman:
Wailul lil-muṭaffifīn.
Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang (dalam takaran dan timbangan).” (QS. Al-Muṭaffifīn [83]: 1)
Rasulullah juga menegaskan standar etika dagang:
Man ghashshanā fa laisa minnā.
Artinya: “Siapa yang menipu kami, maka ia bukan golongan kami.” (HR. Muslim)
Dengan demikian, hukum negara memberi pagar legal untuk melindungi konsumen, sementara Islam memberi pagar moral agar pelaku usaha jujur meski tanpa diawasi. Ketika keduanya berjalan bersama, pasar menjadi tempat yang aman, bersih, dan penuh keberkahan—konsumen tenang, pelaku usaha dipercaya, ekonomi bertumbuh.
🌿 ➡️ Lanjut ke Halaman 2: “Hak-Hak Konsumen Menurut Hukum Indonesia: Aman, Nyaman, dan Berinformasi.”