Halaman 1 — Pikiran, Bukan Takdir Mengapa Nasib Bukan Akhir, Tapi Awal Kesadaran
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Banyak orang hidup seperti penonton dalam hidupnya sendiri. Ketika gagal, mereka berkata “sudah takdir”. Ketika miskin, mereka berkata “nasib saya memang begini”. Ketika melihat orang lain berhasil, mereka menganggapnya keberuntungan. Padahal yang membedakan manusia bukan takdir — tetapi cara berpikir terhadap takdir.
Di sinilah Madilog (Materialisme–Dialektika–Logika) berdiri: sebuah ajakan dari Tan Malaka agar manusia tidak hidup sebagai korban keadaan. Bahwa realitas bukan sesuatu yang “diterima” begitu saja, tapi sesuatu yang bisa diurai, dipahami, dan ditata ulang melalui logika. Dan di era digital, logika itu kini punya sayap: ia berubah menjadi aplikasi, jaringan, dan sistem ekonomi yang dapat mengubah hidup dengan jauh lebih cepat daripada generasi sebelumnya.
Innal-lāha lā yugayyiru mā biqawmin ḥattā yugayyirū mā bi anfusihim.
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d [13]: 11)
Ayat ini bukan sekadar motivasi, tapi hukum perubahan: perubahan di luar dimulai dari perubahan di dalam. Dan perubahan di dalam dimulai dari pikiran yang berani menyangkal bahwa hidup adalah takdir pasif.
Japripay lahir dari semangat itu. Bukan sekadar aplikasi pembayaran, tapi simbol perlawanan terhadap pola pikir lama: bahwa hanya orang bermodal besar yang bisa punya sistem, hanya orang tertentu yang bisa punya aliran rezeki. Di era digital, alatnya sudah ada — yang belum berubah hanyalah cara berpikir manusianya.
Halaman berikut (2/10): “Mengapa Pikiran Adalah Aset Ekonomi Paling Pertama.”
Kita akan membedah bagaimana pola pikir bukan hanya mengubah nasib, tapi juga menentukan aliran rezeki di era aplikasi.