Halaman 1 — Bukan Rezekimu yang Hilang, Tapi Akalmu yang Belum Siap Menemukannya
Bismillāhirraḥmānirraḥīm.
Kadang rezeki itu bukan nggak datang — tapi kita yang nggak nyediain pintunya. Kita ngeluh, “kok rezeki susah banget, ya?” padahal yang susah bukan rezekinya, tapi pikirannya yang masih miskin mode. Pikiran yang cuma bisa berharap, bukan mencari cara. Yang sibuk ngeluh soal nasib, bukan sibuk memperluas kapasitas untuk nerima anugerah.
Rezeki bukan makhluk keras kepala. Ia datang ke siapa pun yang sefrekuensi dengan ikhtiar dan kesadarannya. Masalahnya, banyak orang masih hidup dengan mode “survivor” — sekadar bertahan. Bangun pagi cuma buat nutup tagihan, bukan buat nyiptain kemungkinan baru. Dalam mode ini, akal jadi pasif, doa kehilangan arah, dan tawakal berubah jadi alasan buat berhenti berjuang. Padahal Allah nggak pernah janji rezeki buat yang pasrah tanpa usaha.
Al-Qur’an menegaskan:
Fa idzā quḍiyatiṣ-ṣalātu fantashirū fil-arḍi wabtaghū min faḍlillāh.
Artinya: “Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” (QS. Al-Jumu‘ah [62]: 10)
Ayat ini bukan cuma perintah buat kerja, tapi juga teguran halus: jangan menunggu, bergeraklah. Allah nggak menyuruh kita menunggu rezeki turun dari langit, tapi membuka jalan di bumi. Itulah bedanya antara orang yang hidup dengan mental “survivor” dan “creator”. Yang pertama bertanya, “Kapan datangnya?”, yang kedua bertanya, “Dari mana aku bisa menciptakan peluang?”
Kalau akalmu masih miskin mode, rezeki pun jadi segan mampir. Karena rezeki suka datang ke rumah pikiran yang rapi — bukan yang berantakan dengan keluhan dan rasa tidak mampu. Rezeki itu seperti cahaya: ia mencari ruang yang terbuka, bukan hati yang tertutup oleh putus asa.
Halaman berikut (2/10): “Mode Miskin vs Mode Kaya: Cara Pikiran Menentukan Arus Rezeki.” Kita akan bahas bagaimana pola pikir menentukan kapasitas menerima karunia Allah.